Translate

Sabtu, 12 Juli 2014


KAUM MUSLIMIN DILARANG MEMASUKI PALESTINA
Oleh: Mamduh Farhan al-Bahairi
Sebab penulisan makalah ini: bertepatan dengan penderitaan Palestina karena penjajah Zionis Yahudi. Kami menyadari bahwa dalam hal ini ada khilaf diantara ulama, namun kami menulis ini dengan harapan agar kaum muslimin tidak melupakan penjajahan Yahudi Bani Israel atas Palestina, khususnya Masjidil Aqsha, dan agar kaum muslimin tidak melakukan tindakan yang justru menguntungkan penjajah dalam hal ekonomi dan politik. Kami tidak ingin kecuali hanya ishlah, dan tidak ada yang memberi taufiq kecuali hanya Allah.
Kalau kita perhatikan iklan-iklan Biro/Travel Penyelenggara Perjalanan Umrah maka kita dapati banyak yang menjanjikan program umrah plus kunjungan ke Palestina (AL-Quds, al-Aqsha, atau Jerussalem kata mereka). Maka manusia pun berlomba-lomba untuk mendaftarkan diri dalam program umrah tersebut termasuk ke Palestina, tanpa mengetahui hukum syar’i dalam masalah ini. Begitu pula tanpa memahami bahaya yang akan mengancam kasus Palestina.
Palestina, seperti yang sudah dimaklumi bersama, sekarang tengah berada dalam jajahan Zionis Yahudi. Karena itu tidak seharusnya seorang muslim selain warga Palestina untuk masuk negeri itu, sebab hal itu merupakan pengakuan terhadap eksistensi agresor zionis terhadap negeri kaum muslimin. Semua yang akan masuk ke Palestina, pasti akan memasukinya di bawah pengawasan Zionis melalui pintu-pintu dan kantor keluar masuk yang berafiliasi kepada mereka.
Masuk ke negeri ini memberikan legitimasi terhadap penjajahan agresor lalim tersebut. Untuk itulah kita tidak menemukan satu pun dari ulama umat ini serta yang memiliki kedalaman ilmu, khususnya ulama kita salafiyyin –segala puji bagi Allah– masuk ke Palestina, meskipun Zionis memberikan izin untuk memasukinya untuk tujuan shalat. Sebab tidak boleh memasukinya kecuali jika masuk untuk memerdekakan dan menyingkirkan agresor najis dari tanah suci itu.
Sampai Syaikh Nashiruddin al-Albani yang tinggal di Yordania, dekat dengan perbatasan Palestina selama bertahun-tahun, juga tidak pernah memasuki Palestina untuk shalat meski hanya 2 rakaat di dalamnya, padahal beliau sebagai ahli hadits sangat tahu keutamaan shalat di masjidil Aqsha. Bahkan kita mendapati banyak dari ahli ilmu berfatwa tidak bolehnya memasuki Palestina –untuk orang luar- atau mengunjungi Masjidil Aqsha yang sedang dijajah Zionis yahudi untuk sekedar keperluan shalat.
Bahkan Syaikh Yusuf al-Qardhawi berpendapat:
“Pendapatku adalah tidak boleh seorang muslim selain warga Palestina untuk pergi shalat di Masjidil Aqsha, sementara ia dalam tawanan tangan-tangan Zionis agresor, di mana mereka masih terus saja menumpahkan darah, membunuhi anak-anak, menghancurkan rumah-rumah, membakar lahan pertanian dan menodai kehormatan.
Aku telah mengeluarkan fatwa sejak lama yang mengharamkan hal itu, dan para ulama Palestina sependapat denganku dalam fatwa ini, begitu pula umumnya ulama kaum muslimin. Sementara kalangan ulama yang membolehkannya –dan mereka minoritas- tidak memahami realita, sebaliknya tidak mengetahui bahwa hal ini membahayakan masalah Palestina. Karena itu warga Palestina tidak menyambut hal ini, demikian juga dengan kelompok intifadhah sendiri. Padahal fatwa itu harus dibangun dengan memperhatikan dua masalah yang saling menyempurnakan, yaitu (a) Memahami nash-nash dan dalil. (b) Memahami realita yang terjadi.
Apa yang disangka oleh sebagian orang bahwa mengunjungi Masjidil Aqsha bisa menggeliatkan ekonomi penduduk masjid, maka sungguh Negara Zionis Israel mendapatkan berlipat-lipat dari uang yang mereka ambil, juga apa yang diraup oleh perhotelan mereka dan lainnya. Kita punya kaidah yang diisyaratkan oleh Al-Qur`an tentang pelarangan khamer dan perjudian, ketika Allah berfirman, “Katakan pada keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” Maka setiap apa yang dosa serta bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka ia adalah haram dalam Islam.
Seorang muslim yang sekarang ini ingin pergi shalat ke Masjidil Aqsha seakan-akan mengakui kedaulatan Yahudi Israel yang merampas dan menodainya. Mengakui kekuasaannya terhadap tempat suci umat Islam, utamanya adalah al-Aqsha. Maka seorang muslim harus menolak semua yang mengandung pengakuan terhadap Negara penjajah.
Bagaimana mungkin seorang muslim menerima untuk pergi ke Masjidil Aqsha, sementara penjajah masih menguasai masjid ini?! Seorang muslim tidak mungkin pergi ke tempat ini kecuali harus pergi ke kedutaan (Bani) Israel untuk mengambil visa dan mendaftarkan diri untuk mendapatkan izin masuk di bawah bendera serta penjagaan (Bani) Israel. Ini semacam pengakuan terhadap Israel, padahal kita harus melawan semua pengakuan dengan ragam dan bentuknya.
Dari sisi lain, (Bani) Israel mengatakan, “Kami akan buka pintu kepada semua pemeluk agama untuk melakukan ibadah di tempat-tempat serta masjid mereka. Kami tidak melarang siapa pun yang hendak beribadah kepada Tuhannya sesuai dengan keyakinannya. Penguasaan kami terhadap Baitul Maqdis tidak mengurangi kebebasan pemeluk agama.”
Jika kita pergi ke al-Aqsha maka seakan-akan kita memberikan bukti (penguatan dan dukungan, serta legalitas) yang menguatkan klaim mereka yang dusta. Ini tidak boleh dari sisi syar’i atau politik. Dari sisi lain, hal ini juga terbilang sebagai persetujuan terhadap pengelabuan kesadaran agama pada seorang muslim, sebab daripada ia memikirkan wajibnya melawan agresor untuk membebaskan Masjid al-Aqsha, hal itu akan beralih kepada bagaimana bisa shalat di dalamnya sekalipun masjid itu dalam penguasaan Yahudi.
Ini akan menggantikan pemikiran bagaimana melawan dan membebaskan masjid tersebut serta bagaimana membantu kaum mujahidin. Kita tidak ingin pemikiran ini beralih dari kewajiban hakiki kepada perkara yang dimanipulasi, yaitu menikmati shalat di Masjid al-Aqsha. Jika yang dimaksud adalah merasakan kenikmatan shalat dengan mendapatkan faidah agama dan pahala di sisi Allah, maka di sana masih ada masjid-masjid lain di mana pahala shalat di dalamnya lebih banyak.
Shalat di Masjid al-Aqsha sama dengan lima ratus shalat di masjid lain, dan shalat di Masjid Nabi lebih baik daripada seribu shalat di masjid lain, dan shalat di Masjidil Haram lebih baik seratus ribu kali daripada shalat di masjid lain. Maka siapa yang ingin mendapatkan pahala berlipat ganda dengan shalat di masjid-masjid suci, hendaknya pergi ke Masjid Nabi dan Masjidil Haram.” (Selesai kutipan Fatwa)
Dalam Acara di TV Al-Jazeera pada 16 / 7 /2010 Sheikh Hamed Al-Baitawy Khatib Masjid Al-Aqsa dan ketua Asosiasi Cendekiawan Palestina bahwa seruan sebagian pejabat Arab untuk mengunjungi Palestina dengan visa Israel adalah tertolak baik secara hukum syara’ maupun politik.
Dia menjelaskan bahwa Menteri Waqaf Mesir yang memimpin sebuah Departemen yang sangat penting, memiliki pengaruh di dalam dan di luar Mesir, seharusnya menjadi panutan dan tidak mengeluarkan seruan seperti undangan.
Dia memperingatkan bahwa orang yang menyamakan kunjungan ke Al-Aqsa yang berada di bawah pendudukan Israel, dengan kunjungi Nabi Muhammad ke Mekah yang sedang dikuasai orang musyrik untuk melaksanakan umrah, adalah sebuah analog yang keliru.
Dia beralasan bahwa kafir Mekah adalah orang-orang Mekah asli, namun berbeda dengan Bani Israel yang merampok Palestina dan mengancam al-Quds (Yerusalem) serta mencegah orang muslim Palestina untuk shalat di masjid atau bahkan mengusir para wakil orang-orang baitul Maqdis dari tanah air mereka.
Dia menunjukkan bahwa orang-orang yang menyeru untuk mengunjungi Masjid Aqsa dan Yerusalem yang sedang berada di bawah pendudukan Israel, dengan visa dari penjajah Yahudi berarti telah melakukan sejenis praktek normalisasi pilitik dengan musuh, sementara kita menentang seluruh jenis normalisasi, apakah olahraga, budaya, keamanan dan politik.
Dia menunjukkan bahwa begitu ada seruan kunjungan ke al-Aqsha dari Menteri Waqaf Mesir maka Israel langsung menyambut dengan sangat gembira, diwaktu Israel malah melarang penduduk baitul Maqdis mengunjungi Al-Aqsa dan shalat di dalamnya, serta rumah-rumah mereka dihancurkan dan dijadikan pemukiman untuk Yahudi dalam jumlah ribuan. Juga ada ancaman serius, masjidil Aqsha akan dihancurkan dan dibangun di atas reruntuhannya Haikal (semacam candi) tempat ibadah Yahudi.
Dia mengatakan: Justru seharusnya orang yang melontarkan keinginannya untuk mengunjungi Al-Quds dengan alasan ingin mendukung keteguhan rakyat Palestina itu meminta kepada negara-negara mereka untuk menghentikan normalisasi dengan musuh; Israel. Serta tidak ikut-ikutan atau berpartisipasi dalam pengepungan Gaza. Juga agar mereka mengizinkan bahan-bahan bangunan untuk memasuki Gaza agar ribuan warga Gaza yang rumahnya hancur mendapatkan tempat untuk tidur.
Dia menekankan bahwa ada semacam konsensus di kalangan para Ulama Islam khususnya Uni Internasional untuk Cendekiawan Muslim, melarang kunjungan ke Al-Aqsa di bawah pendudukan Israel, karena kaedah "menghindari kerusakan lebih diutamakan dari pada upaya menarik manfaat."
Dia bertanya-tanya mengapa Israel menyambut kunjungan Menteri Awqaf Mesir ke al-Aqsha? Hal itu karena Israel memiliki kepentingan yang lebih besar, sementara di waktu yang sama penduduk Palestina dilarang mengunungi al-Aqsha?!!
Dia menambahkan, apakah penjajah Yahudi mengizinkan jutaan kaum muslimin untuk mengunjungi Masjidil Aqsha? Ataukah hanya sebagian orang arab dan sebagian kaum muslimin untuk memberikan normalisasi yang diperlukan dan legitimasi pengakuan resmi akan pendudukan Israel?!!
Saya ulangi dan saya katakan, “Sungguh orang yang paham kebutuhan warga Palestina sekarang ini mendapati bahwa mereka tidak membutuhkan orang atau pejuang, akan tetapi mereka membutuhkan uang dan makanan, perlengkapan medis dan obat-obatan serta lainnya dari hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan; untuk bertahan hidup dan berjuang. Adapun seseorang sengaja pergi ke Palestina, baik ia bisa masuk atau tidak, maka sungguh warga Palestina tidak membutuhkannya. Yang kami tahu, mereka selalu menyuarakan, “Kami butuh dukungan dana dan sarana, kami tidak memerlukan kunjungan siapapun sekedar untuk melihat.”
Terakhir, sebuah nasehat kami persembahkan kepada jama’ah (rombongan) Umrah dan Haji agar jangan masuk Palestina setelah hari ini –kecuali yang ada hubungannya dengan pertolongan kepada Muslim Palestina dan menguntungkan kasus Masjidil Aqsha-. Masyarakat muslim wajib tidak menerima aturan Zionis dengan masuknya kita ke bumi Palestina, sekalipun melalui jalan Rafah, yang pada hakikatnya berada dalam kekuasaan Israel, sekalipun lahiriyahnya berada di bawah tangan Mesir. Sebab Israellah yang memberikan izin masuk atau tidak.
Merekalah yang mengawasi semua pintu masuk serta pengawasan lewat kamera.
Sesungguhnya ziarah ke Palestina yang berada dalam penjajahan Israel bukan hanya memberikan legitimasi terhadap penjajahan, tetapi juga akan ikut andil dalam menampakkan eksistensinya di hadapan dunia bahwa ia adalah negara yang menjamin kebebasan beragama; buktinya kaum muslimin mau masuk Palestina dengan aman. Ini poin penting dan berbahaya yang seharusnya kaum muslimin berhenti padanya dan merasakan ancamannya.
Sesungguhnya Israel ingin meyakinkan dunia dengan pencaplokannya terhadap Palestina dan menjadikannya masalah riil yang dunia dipaksa untuk menerimanya. Termasuk sebab-sebab yang digunakan (oleh Bani Israel) adalah bahwa ia tidak menghalangi kaum muslimin untuk berkunjung ke Palestina atau shalat di Masjid al-Aqsha, seakan-akan kaum muslimin tidak memiliki hak atasnya kecuali hanya untuk shalat di Masjidil Aqsha. Inilah yang dijamin oleh Israel!
Karena itulah pergi ke Palestina untuk shalat di Masjid al-Aqsha akan membantu (Bani) Israel dalam bidang ini, akan menegaskan kepada dunia bahwa kaum muslimin tidak ada urusan lagi bagi mereka dengan Palestina jika mereka diizinkan masuk Palestina dan shalat di Baitul Maqdis. Masalah seperti ini terbilang sebagai dukungan terhadap propaganda Zionis serta berlepas diri dari hak warga Palestina terhadap tanah tumpah darah mereka.
Mengingat semua sebab di atas, maka kami berpendapat tidak boleh secara syar’i safar ke Palestina dengan perizinan visa dari Israel, sekalipun dengan tujuan shalat di Masjid al-Aqsha. Maka bagaimana lagi jika bukan untuk shalat?
Karena itu kami nasehatkan kepada saudara kami kaum muslimin di mana saja agar jangan masuk ke Palestina kecuali seperti yang dilakukan kaum muslimin dahulu yang masuk dengan penuh kehormatan di masa Umar bin Khathab.
Mereka tidak masuk ke Palestina sebagai penziarah semata, akan tetapi meraka masuk untuk membebaskannya. Hasbunalah wani’mal wakil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar