Translate

Minggu, 29 Juni 2014

MENGGAPAI PUASA SEJATI

MENGGAPAI PUASA SEJATI
Dr. Muhammad Abdullah al-Habdān
Bersamaan dengan kedatangan bulan Ramaḍhān yang penuh berkah, umat Islam pun bersiap diri untuk menjalankan ibadah puasa. Masing-masing akan beroleh imbalan dan pahala puasanya sebesar niat, kesungguhan, dan usahanya. Perbedaan mutu dan tingkat kesungguhan dalam memaksimalkan potensi Ramaḍān bukan suatu kemustahilan, tetapi fakta yang terjadi di tengah umat.
Siapa yang kurang sempurna dalam mengisi Ramaḍān, maka pahala yang didapatkannya pun akan tidak sempurna; Siapa yang mengisinya dengan sungguh-sungguh namun sekedar memenuhi kewajiban, maka pahalanya pun sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya; Dan siapa yang mempuasakan bulan Ramaḍān dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka merekalah yang mukmin sejati yang akan menjadi pemenang di ujung Ramaḍān.
Puasa sejati tidak hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum serta kecendrungan seksual, tetapi juga mencakup berbagai hal yang menjadi syarat untuk meraih kemenangan dan pahala yang sempurna.
Yang terpenting dari berbagai hal itu, antara lain ialah:
1. Menjaga lidah; karena berbagai bala berawal dari lidah. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits sahih,
مَنْكَانَيُؤْمِنُبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِفَلْيَقُلْخَيْرًاأَوْلِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam!” (H.R. Bukhari, Muslim).
Betapa banyak kata-kata yang [ saking tak elok lafalnya] seolah berkata kepada orang yang mengucapkannya tinggalkan saya! Oleh karena itu hendaklah masing-masing kita menahan lidahnya dari ucapan sia-sia, dari perkataan keji, dari menciptakan kebisingan, berdebat tanpa hak, ghibah, namimah, kata-kata bohong, kesaksian palsu, kebohongan publik, mengolok-olok, dan bersumpah palsu.
Rasulullah telah bersabda,
رُبَّصَائِمٍحَظُّهُمِنْصِيَامِهِالْجُوعُوَالْعَطَشُوَرُبَّقَائِمٍحَظُّهُمِنْقِيَامِهِالسَّهَرُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar, betapa banya orang yang melakukan qiamul lail tidak mendapatkan apa-apa dari qiamul lailnya selain bergadang.” (H.R. An-Nasā`i). Beliau juga telah bersabda,
إِذَاكَانَيَوْمُصَوْمِأَحَدِكُمْفَلَايَرْفُثْوَلَايَجْهَلْفَإِنْجَهِلَعَلَيْهِأَحَدٌفَلْيَقُلْإِنِّيامْرُؤٌصَائِمٌ
“Jika seseorang pada suatu hari berpuasa, janganlah dia berbuat rafaṡ (berkata-kata kotor), jangan berbuat fasik, jangan berbuat jahil. Jika ada yang mencacinya hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya berpuasa!’” (H.R. Ahmad)
Beliau juga bersabda,
مَنْلَمْيَدَعْقَوْلَالزُّورِوَالْعَمَلَبِهِفَلَيْسَلِلَّهِحَاجَةٌفِيأَنْيَدَعَطَعَامَهُوَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dan perilaku bohong, tidak meninggalkan kejahilan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (H.R. Bukhari)
2. Menahan dan menjaga pandangan, karena orang yang sebenar berpuasa ialah orang yang takut kepada Allah dalam urusan matanya, sehingga dia tidak sudi menolehkan kedua bola matanya memandang hal-hal yang diharamkan, tidak membiarkan keduanya menyeret dirinya kepada kebinasaan dan hukuman Allah, atau kepada penyakit jiwa. Hal itu karena pandangan yang haram adakalanya diikuti oleh pelakunya dengan perbuatan memuaskan nafsunya yang bergejolak akibat pandangan tersebut sehingga dia pun betul-betul melakukan perbuatan yang haram yang mengakibatkan puasanya menjadi batal; adakalanya pula dia berhenti pada sebatas memandang tanpa memenuhi dorongan yang diakibatkan pandangan tersebut.Tetapi ini akan membuat jiwanya tertekan terpaksa menahan arus deras dorongan syahwat yang ditimbulkan oleh pandangan.
Goncangan ini akan memberikan pengaruh buruk dan menimbulkan penyakit jiwa. Oleh karena itu bertakwalah kepada Allah wahai orang yang membiarkan kedua matanya memandang yang haram, sebab mata juga berzina; zina mata adalah memandang yang diharamkan.
3. Menahan telinga dari mendengarkan segala sesuatu yang tidak halal didengarkan, baik itu berupa senda gurau yang merusak, ghibah dan lain sebagainya. Kiranya cukuplah sebagai peringatan, bahwa Allah menyandingkan perilaku mendengarkan kebohongan dengan memakan harta yang haram. Allah berfirman,
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram....” (Q.S. al-Mā`idah, 42)
Allah juga menjadikan kecendrungan mendengarkan kebohongan dan merasa tenang dengannya sebagai bagian dari perilaku hina orang-orang Yahudi, Allah berfirman,
“Wahai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya dari golongan orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, ‘Kami telah beriman,’ padahal hati mereka belum beriman; dan dari golongan orang-orang Yahudi. (Mereka, orang-orang Yahudi itu) Amat suka mendengar (berita-berita) bohong....” (Q.S. al-Mā`idah, 41).
Pun Allah berfirman tentang perihal majlis atau forum yang berisi pembicaraan yang batil,
“Maka janganlah kamu duduk beserta mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) maka kamu serupa dengan mereka... (Q.S. an-Nisā`, 140)
Orang yang mengatakan kebatilan dan mendengarkannya dengan senang hati (rida) sama-sama berdosa, Jābir % berkata, “Jika Anda berpuasa, maka hendaklah puasakan juga pendengaran Anda, penglihatan Anda, dan lidah Anda dari kebohongan dan segala yang diharamkan, tinggalkan perilaku menyakiti tentangga, dan hendaklah Anda bersikap tenang, jangan jadikan hari puasa dengan hari tidak berpuasa Anda sama saja.”
Puasa merupakan nikmat yang besar, nikmat yang menghapus dosa-dosa, nikmat yang meninggikan derajat, menguatkan hubungan hamba dengan Rab-nya, karena puasa adalah ibadah tersembunyi. Semakin tersembunyi sebuah ibadah semakin ia lebih dekat kepada ikhlash. Oleh karena itu jagalah dengan seksama, semoga Allah melipatgandakan pahala Anda, dan Anda sendiri akan memuji hasil yang dipetik ketika kelak menghadap Allah, hari kebahagiaan terbesar sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah,
لِلصَّائِمِفَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌعِنْدَفِطْرِهِ،وَفَرْحَةٌعِنْدَلِقَاءِرَبِّهِ (رواه البخاري)
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, satukebahagiaan saat berbuka, dan satu kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rab-nya. (H.R. Bukhari)
Jika demikianlah adanya ibadah puasa, maka sudah seharusnya kita bertanya-tanya kepada diri masing-masing,
“Apakah kita merasakan kemuliaan rohani ketika menjalankan ibadah puasa?”
“Mengapa kita tidak menjadikan Ramaḍān sebagai musim membekali diri dengan kebaikan dan menitipkannya kepada rohani kita sebagai bekal perjalanan kita sepanjang tahun? Sehingga usia kita hanya berisi kebaikan, berkah, dan kemuliaan.”
Ramaḍān adalah medan perang di mana materi dan rohani berlaga, oleh karena itu jangan sampai Anda menjadi pecundang, jangan sampai perut Anda puasa menghindari makan dan minum tetapi anggota tubuh berbuka dengan melakukan maksiat. Jangan sampai Anda justru giat bergadang mengisi malam dengan film-film, permainan, senda-gurau, dan malas beribadah. Jangan sampai Anda terjerembab kepada hal-hal ini, karena itulah yang membahagian setan,yang tidak diridai Allah Yang Maha Rahman. Ingatlah selalu petuah Rasul Anda,
رُبَّصَائِمٍحَظُّهُمِنْصِيَامِهِالْجُوعُوَالْعَطَشُ(رواه أحمد)
“Betapabanyakorang yang puasa yang dia dapatkan dari puasanya hanya lapar dan haus...” (H.R. Ahmad)
Orang yang lambungnya puasa dari makanan dan minuman, organ seksualnya puasa dari syahwat, seluruh anggota tubuhnya puasa dari segala yang diharamkan, dan menunaikan semua yang disukai Allah dalam bulan ini baik itu berupa shalat, zikir, berbuat baik, dan ibadah-ibadah sunnah lainnya, sesungguhnya dialah yang mendapatkan kemenangan, dan telah menunaikan puasa Ramaḍān sebagaimana mestinya.
Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang yang sungguh-sungguh dan benar-benar berpuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar