Translate

Kamis, 28 Agustus 2014

KESALAHAN-KESALAHAN SEPUTAR SHALAT


Oleh: DR. Ilyas Zuhair

Kaum muslimin, tidak diragukan lagi bahwa diantara syarat diterimanya sebuah amal adalah jika amal tersebut dilakukan ikhlash karena Allah dan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan oleh Rasulullah . Kemudian setelah ini, dibicarakanlah bahwa diantara sebab-sebab berkurangnya pahala shalat adalah beberapa penyimpangan-penyimpangan terhadap shalat Nabi yang biasa terjadi pada sebagian orang yang shalat, padahal Nabi telah bersabda:
« صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى »
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Shahih, HR. al-Bukhari)
Demikian pula kesembronoan sebagaian mereka terhadap wudhu’ dengan tidak memperhatikannya sementara Nabi telah bersabda:
« مَنْ تَوَضَّأَ كَمَا أُمِرَ وَصَلَّى كَمَا أُمِرَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ عَمَلٍ »
“Barang siapa berwudhu` sebagaimana dia diperintahkan, dan shalat sebagaimana dia diperintahkan, maka diampunilah (dosa-dosa) amal perbuatan mereka yang telah lalu.” (Hasan Shahih, HR. Ahmad, dan Nasa’i)
Dan berikut ini adalah sebagaian kesalahan-kesalahan manusia dalam thaharah (bersuci) mereka agar mereka menjauhinya dan bisa memberikan nasihat kepada orang yang terjerumus kedalamnya supaya meninggalkannya:
1. Berlebihan dalam penggunaan air wudhu`
كَانَ النَّبِيُّ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
“Adalah Nabi berwudhu’ dengan satu mud dan beliau madi dengan satu sha’
(4 mud) hingga 5 mud.” (HR. al-Bukhari)
Al-Imam al-Bukhari berkata: “Para ulama membenci berlebihan dalam air wudhu` dan meninggalkan perbuatan Nabi .
2. Tidak sempurna dalam membasuh anggota-anggota wudhu` hingga sebagaian anggota tetap tidak dalam keadaan terbasuh.
Ini adalah sebuah kekurangan didala wudhu’. Disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr dia berkata:
تَخَلَّفَ عَنَّا النَّبِيُّ فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلَاةُ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ : « وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ » مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا
“Nabi tertinggal dari kami dalam sebuah safar yang kami lakukan, kemudian beliau menyusul dan mendapati kami saat shalat telah membuat kami terlambat sementara kami berwudhu` dan mengusap kaki-kaki kami, maka beliau menyeru dengan suara beliau yang tertinggi: “Kecelakaan api neraka bagi tumit-tumit (yang tidak tersentuh air) (beliau mengulangnya) 2 atau 3 kali.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan Nabi memerintahkan seorang laki-laki untuk mengulang wudhu`nya, dikarenakan dia meninggalkan sesuatu dari kakinya yang tidak di basuhnya.
3. Keyakinan sebagian orang bahwa wajib membasuh kemaluan setiap kali sebelum wudhu`.
Ini adalah sebuah keyakinan salah. Siapa saja yang terbangun dari tidurnya, atau buang angin, maka tidak ada kewajiban atasnya untuk membasuh kemaluannya, kecuali jika dia buang hajat.
4. Tayammum dengan keberadaan air, sementara dia bisa menggunakan air tersebut.
Ini adalah sebuah kesalahan nyata. Allah berfirman:
“… kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); …”(QS. An-Nisa: 43)
Ayat tersebut diatas secara jelas menjelaskan bahwa tayammum tidak boleh dilakukan dengan keberadaan air.
5. Sebagian manusia tertidur di tempat shalatnya, kemudian, jika sudah dikumandangkan iqamah, dia dibangunkan oleh orang disebelahnya, kemudian dia berdiri shalat tanpa berwudhu’.
Orang yang seperti ini wajib untuk berwudhu’ dikarenakan dia terlelap dalam tidurnya. Rasulullah bersabda:
« الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ »
“Mata itu adalah pengikat dubur, barangsiapa tertidur maka berwudhu`lah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)
Adapun jika dia ngantuk dan masih bisa merasakan orang-orang disekitarnya, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk berwudhu`.
6. Sebagian manusia telah masuk waktu shalat, sementara dia dalam keadaan menahan air kencing, ada kalanya karena malas berwudhu` atau karena jauhnya tempat air darinya –dengan persangkaan jika dia shalat dalam keadaan menahan hajat itu lebih utama daripada shalat dengan tayammum-. Ini adalah sebuah kebodohan darinya. Rasulullah bersabda:
« لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ »
“Tidak ada shalat dengan siapnya makanan dan tidak pula (shalatnya) orang yang menahan dua hajat.” (HR. Muslim)
Syaikhul Islam ditanya tentang orang yang menahan hajat, mana yang lebih afdhal seseorang shalat dengan wudhu` dalam keadaan menahan hajat, atau dia berhadats kemudian dia bertayammum karena tidak adanya air?
Maka beliau menjawab: “Shalat dia dengan tayammum tanpa menahan hajat itu lebih utama daripada shalat dia dengan wudhu` disertai menahan hajat. Dikarena shalat dengan menahan hajat adalah makruh dan dilarang, dan tentang keabsahan shalat tersebutpun ada dua riwayat. Adapun shalat dia dengan bertayammum maka tidaklah makruh secara kesepakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar